RSS
LAPORAN FIELD STUDY
DI MUSEUM RANGGAWARSITA JAWA TENGAH
(MENARA KUDUS)
Oleh: Nur Syamsiyah (12341111/PM-5A)

Museum Ranggawarsita merupakan salah satu museum yang terletak di kota Semarang. Di dalamnya terdapat beberapa koleksi asli, replika maupun miniatur peniggalan peradaban manusia di Jawa Tengah mulai dari masa Hindu-Budha, masa Islam hingga masa kemerdekaan. Pada awal pintu masuk, pengunjung disuguhi dengan beberapa koleksi peradaban Hindu-Budha dimana terdapat beberapa arca serta miniatur Candi Borobudur. Namun, seiring masuknya islam di Jawa Tengah koleksi di dalamnyapun terdapat beberapa peninggalan Islam pada masa Walisongo yang salah satunya adalah Menara Kudus.
Koleksi Miniatur Menara Kudus
di Museum Ranggawarsita
Jawa Tengah
Setelah memasuki gedung C museum Ranggawarsita, terpampang sebuah miniatur Menara Kudus, yakni sebuah bangunan yang merupakan peninggalan Sunan Kudus di bawahnya tertera penjelasan bahwa Menara ini berada satu komplek dengan Masjid Kudus yang terletak di sisi kanan Masjid. Arsitekturnya mengacu pada bangunan Pura (seperti di Bali). Tiggi menara Masjid 18 M. Menara didirikan bersamaan dengan masjid Kudus pada abad ke XVI M. Masjid Kudus terletak di Desa Kauman, Kabupaten Kudus.
Interrelasi Islam dan Jawa dalam arsitektur menara kudus, Kata menara sendiri dari perkataan manara yang berasal dari bahasa arab nar yang berarti api atau nur yang berarti bahaya. Awalan kata ma menunjukkan tempat. Jadi menara berarti tempat menaruh api atau cahaya di atas. Akan tetapi kemudian memiliki manfaat yang lain, yakni untuk mengumandangkan adzan guna menyeru orang melakukan Shalat.[1] Sugeng Haryadi menyatakan bahwa menara dalam pandangan ulama sufi dikategorikan Manaru yaitu suatu bangunan yang puncaknya digunakan untuk memancarkan cahaya Allah SWT (agama Islam).
Jadi Menara Kudus ini masih sangat kental akan budaya Hindu dikarenakan pada masa pembangunnya masih banyak warga sekitar yang memeluk agama Hindu. Agar dapat menarik minat masyarakat untuk masuk Islam maka Sunan Kudus Membuat Masjid Masjid Al-Aqsha beserta menaranya yang masih menggunakan arsitektur Hindu, yang menunjukkan pula bahwa Islam sangat toleran terhadap kepercayaan sebelumnya dengan menghargai para nenek moyang mereka.





                [1] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo, Yogyakarta: Grha Pustaka, cet. VII, 2009, hlm. 119-120.


Makam Syekh Syarif Hidayatullah
Sunan Gunung Jati Cirebon
Oleh: Nur Syamsiyah (123411117/PM-5A) 
Kota Cirebon merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang cukup terkenal berkat adanya makam Syarif Hidayatullah, seorang mubaligh, pemimpin spiritual, dan sufi yang juga dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Peristirahatan terakhir Sunan Gunung Jati dan keluarganya ini disebut dengan nama Wukir Sapta Rengga. Makam ini terdiri dari sembilan tingkat, dan pada tingkat kesembilan inilah Sunan Gunung Jati dimakamkan. Sedangkan tingkat kedelapan ke bawah adalah makam keluarga dan para keturunannya, baik keturunan yang dari Kraton Kanoman maupun keturunan dari Kraton Kasepuhan.
Komplek Makam Sunan Gunung Jati
Di makam ini terdapat pasir malela yang berasal dari Mekkah yang dibawa langsung oleh Pangeran Cakrabuana, putera Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjadjaran. Karena proses pengambilan pasir dari Mekkah itu membutuhkan perjuangan yang cukup berat, maka pengunjung dan juru kunci yang akan keluar dari kompleks makam ini harus membersihkan kakinya terlebih dahulu, agar pasir tidak terbawa keluar kompleks walau hanya sedikit. Larangan tersebut merupakan instruksi langsung dari Pangeran Cakrabuana sendiri.
Para Peziarah Sedang Istighosah di Makam Sunan Gunung Jati
Makam yang menempati lahan seluas 4 hektar ini merupakan obyek wisata ziarah yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan/peziarah baik dari Cirebon maupun kota-kota sekitarnya. Kedatangan para peziarah itu biasanya berlangsung pada waktu-waktu tertentu seperti Jumat Kliwon, peringatan maulud Nabi Muhammad SAW, ritual Grebeg Syawal, ritual Grebeg Rayagung, dan ritual pencucian jimat.
Bangunan makam Sunan Gunung Jati memiliki gaya arsitektur yang unik, yaitu kombinasi gaya arsitektur Jawa, Arab, dan Cina. Arsitektur Jawa terdapat pada atap bangunan yang berbentuk limasan. Arsitektur Cina tampak pada desain interior dinding makam yang penuh dengan hiasan keramik dan porselin. Selain menempel pada dinding makam, benda-benda antik tersebut juga terpajang di sepanjang jalan makam. Semua benda itu sudah berusia ratusan tahun, namun kondisinya masih terawat. Benda-benda tersebut dibawa oleh istri Sunan Gunung Jati, Nyi Mas Ratu Rara Sumandeng dari Cina sekitar abad ke-13 M. Sedangkan arsitektur Timur Tengah terletak pada hiasan kaligrafi yang terukir indah pada dinding dan bangunan makam itu.
Keunikan lainnya tampak pada adanya sembilan pintu makam yang tersusun bertingkat. Masing-masing pintu tersebut mempunyai nama yang berbeda-beda, secara berurutan dapat disebut sebagai berikut: pintu gapura, pintu krapyak, pintu pasujudan, pintu ratnakomala, pintu jinem, pintu rararoga, pintu kaca, pintu bacem, dan pintu kesembilan bernama pintu teratai. Semua pengunjung hanya boleh memasuki sampai pintu ke lima saja. Sebab pintu ke enam sampai ke sembilan hanya diperuntukkan bagi keturunan Sunan Gunung Jati sendiri.
Kompleks makam ini juga dilengkapi dengan dua buah ruangan yang disebut dengan Balaimangu Majapahit dan Balaimangu Padjadjaran. Balaimangu Majapahit merupakan bangunan yang dibuat oleh Kerajaan Majapahit untuk dihadiahkan kepada Sunan Gunung Jati sewaktu ia menikah dengan Nyi Mas Tepasari, putri dari salah seorang pembesar Majapahit yang bernama Ki Ageng Tepasan. Sedangkan Balaimangu Padjadjaran merupakan bangunan yang dibuat oleh Prabu Siliwangi untuk dihadiahkan kepada Syarif Hidayatullah sewaktu ia dinobatkan sebagai Sultan Kesultanan Pakungwati (kesultanan yang merupakan cikal bakal berdirinya Kesultanan Cirebon).
Selain terkenal dengan arsitektur bangunannya yang unik, obyek wisata ziarah makam Sunan Gunung Jati ini juga terkenal dengan berbagai macam ritualnya, yaitu ritual Grebeg Syawal, Grebeg Rayagung, dan pencucian jimat. Grebeg Syawal ialah tradisi tahunan yang diselenggarakan setiap hari ke 7 di bulan Syawal, untuk mengenang dan melestarikan tradisi Sultan Cirebon dan keluarganya yang berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati setiap bulan itu. Sedangkan Grebeg Rayagung ialah kunjungan masyakat setempat ke makam yang diadakan setiap hari raya Iduladha. Selain itu, terdapat juga ritual tahunan pada hari ke-20 di bulan Ramadhan, tradisi itu disebut “pencucian jimat” dan benda-benda pusaka (gamelan dan seperangkat alat pandai besi) yang merupakan benda peninggalan Sunan Gunung Jati. Tradisi ini dilaksakan setelah shalat shubuh, bertujuan untuk memperingati Nuzulul Qur‘an yang jatuh pada tanggal 17 Ramadhan




Tradisi Panjang Jimat Untuk Memperingati Maulid Nabi di Keraton Cirebon
Narasumber: Bapak Iman (Abdi Dalem Keraton Cirebon)
 Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Islam & Budaya Jawa
Oleh: Nur Syamsiyah (123411117/PM-5A)
 

wawancara narasumber (Bpk. Iman)
Tradisi Panjang Jimat sudah ada semenjak Sunan Gunung Jati yakni Syekh Syarif Hidayatullah. Tradisi ini diadakan dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Namun banyak yang mengira bahwa tradisi ini dikaitkan dengan hal mistis, dikarenakan adanya sebutan jimat. Sebenarnya kata Panjang Jimat ini mempunyai kepanjangan yaitu “Sepanjang hidup umat islam harus memegang teguh Jimat”, Jimat yang dimaksud disini adalah menurut bahasa jawa Cirebon yaitu “Siji sing kudu dirumat” yang berarti “satu yang haarus dijaga yaitu “Syahadat”

Keraton Kasepuhan Cirebon
Upacara panjang jimat merupakan puncak acara peringatan maulid Nabi di tiga keraton. Di keraton Kanoman, upacara digelar pada malam hari ba’da isya yang ditandai dengan sembilan kali bunyi lonceng Gajah Mungkur yang berada di gerbang depan keraton. Suara lonceng tersebut merupakan tanda dibukanya upacara panjang jimat.
Setelah lonceng dibunyikan, Pangeran Patih PRM Qodiran mewakili Sultan Kanoman XII Sultan Raja Muhammad Emirudin yang menggunakan jubah Emas keluar dari ruang mande mastaka menuju bangsal jinem. Di bangsal Jinem, pangeran menerima sungkem dari pangeran komisi, Rohim, sebagai tanda dimulainya proses panjang jimat. Selama prosesi upacara digelar, Pangeran Patih sama sekali tidak diperkenankan bicara sepatah kata pun. Ini dilakukan sebagai simbol istiqomah.
Tidak hanya genderang lonceng dibunyikan, tanda pembukaan upacara panjang jimat juga ditandai dengan tiupan pluit yang mengisyaratkan kepada warga agar memberikan jalan bagi iring-iringan famili yang diikuti abdi dalem menuju langgar alit yang berjarak sekitar 500 meter.
Pendopo di Keraton Kasepuhan Cirebon
Setelah pangeran komisi memberikan sungkem kepada Pangeran Patih, iring-iringan mulai berjalan. Pangeran patih bersama famili berada paling depan. Dalam perjalan menuju langgar alit, seluruh iring-iringan membacakan sholawat nabi. Kemudian diikuti rombongan wanita bangsawan yang tidak sedang datang bulan. Mereka membawa barang pusaka keraton, dan perlengkapan rumah tangga seperti piring, lodor, kendi dan barang peningglan sejarah lainnya.
Perjalanan rombongan diawali dari depan pendopo keraton, kemudian melewati Pintu Si Blawong yang dibuka hanya pada prosesi maulid saja dan berakhir di Masjid Agung Kanoman yang dibangun tahun 1679 Masehi.
Saat perjalanan menuju masjid, ribuan warga berebut memadati sepanjang jalan yang dilewati rombongan. Tidak sedikit, warga yang sengaja menghamiri sultan hanya untuk bersalaman dan berharap mendapat berkah. Setelah tiba di masjid, seluruh rombongan duduk rapi di dalam masjid. Ditempat itu, turut dibacakan riwayat Nabi,pembacaan barjanji, kalimat Thoyyibah, sholawat Nabi dan ditutup dengan berdoa bersama.
Setelah proses doa bersama selesai, seluruh rombongan kembali ketempat semulia. Pangeran Patih dan famili langsung masuk kedalam keraton. Sementara, rombongan yang membawa benda pusaka kembali menuju langgar alit (mushola kecil).
Setelah acara usai, biasanya tengah malam, seluruh nasi dan lauk pauk yang dibawa rombongan dibagikan kepada keluarga sultan, famili, abdi dalem, dan seluruh warga yang berada di luar halaman masjid.